Menimbang-nimbang Keyakinan dan Keraguan

Disclaimer: post ini gak lebih dari sekedar anabel (analisa gembel) yang gak punya dasar yang konkret.
Gue ngerasa beruntung banget bisa ketemu jodoh yang sreg di berbagai aspek: kesukaan, hobi, traits, nilai-nilai, dan lainnya.
Waktu kita memutuskan untuk nikah di tahun 2023, kita banyak ngobrolin serba-serbi rumah tangga: mulai dari ngelola keuangan, tugas domestik, karir, hobi, sampai anak. Dan di akhir pembicaraan malam di tengah lapangan alun-alun Bekasi itu, kita sama-sama reflect:
Apa hal yang sekiranya masih bikin kurang yakin?
Setelah merenung cukup lama sampai mie instan lumayan mendingin dan es di dalam nutrisari mulai meleleh, gue dan istri sampai ke satu kesimpulan.
Bahwa sebenernya kalo mau yakin (certain) 100% sih kayaknya gak bakal jadi itu akad nikah. Dan setelah dipikir-pikir lagi, yang membuat kita cukup berani untuk go forward adalah karena kita udah gak ada keraguan lagi ke satu sama lain.
Kata-kata di atas lumayan nempel di benak gue dan hampir selalu gue jadiin template jawaban ketika ditanya temen-temen “Apa yang akhirnya bikin lo yakin buat nikahin Amira?”
Temen-temen gue, termasuk gue pun, masih lumayan intrigued dan mencerna ini baik-baik. Karena, kasarannya, mindset yang (gue rasa) cukup terpatri di masyarakat itu kalo ragunya 0 berarti udah 100% yakin.
Tapi pikiran gue pada akhirnya selalu condong ke yang gue renungin tadi, bahwa keyakinan (certainty) itu gak harus 100% dulu untuk menghilangkan keraguan.
Menurut gue lawan yang lebih tepat untuk certainty ya lawan katanya itu sendiri, uncertainty.
Dan uncertainty (gue gak terlalu oke pake padanan ‘ketidakyakinan‘ jadi gue lebih sreg pake ‘ketidakpastian’) ini menurut gue beda sama keraguan (doubt).
Uncertainty menurut gue adalah pertanyaan-pertanyaan yang cukup kita embrace dan jawab seiring berjalan waktu, tanpa terburu-buru, kayak misalnya:
- Nanti gimana ya kalo di tengah jalan, gue kena layoff?
- Gimana ya kalo nanti kita harus pindah kota karena kerjaan?
- Gimana ya kalo nanti pas punya anak, biaya sekolah lebih mahal daripada beli rumah second?
Meskipun kita tetep planning dan menyiapkan berbagai hal, faktor-faktor eksternal ini gak bisa dikontrol dan dipastikan. Dan bener aja di 2024 udah dua kali kena layoff (kocak emang).
Segala “Gimana nanti?” ini pasti akan terjawab entah lewat wadah apa.
Sementara itu, doubt adalah hal-hal yang harus clear dulu sebelum lanjut. Entah itu pengalaman past relationships, ngelola emosi, potensi orang ketiga. Intinya segala hal yang menitikberatkan ke action menurut gue bisa dikontrol.
Katakanlah ada godaan kerjaan gaji gede tapi harus nipu orang, kalo gue goyah dan tergiur soal ini, pantes dijadiin sumber keraguan.
Jadi, ya, gitu. Ketika misal keyakinan masih di 80/100, sisa 20 nya ini tetep bisa terbebas dari rasa ragu asal di-address sesegera mungkin.
Jadi fokus utama gue waktu itu bukan untuk men-seratus-kan keyakinan, tapi lebih fokus untuk meng-nol-kan keraguan.
So if your doubt is 0, it’s probably a good idea to go for it. I said “probably” because uncertainty is always there.